Minggu, 31 Juli 2011

Rahasia 6 Ruang dalam Hati

Di bulan Januari dan Februari 2001, Yesus mendiktekan pesan-pesan berseri kepada visiuner, Maureen-Sweeney Kyle, dimana IA mengungkapkan “Rahasia-rahasia” akan Lima Ruang Persatuan Hati.

21 April 2001. Yesus: “Aku adalah Yesus, terlahir sebagai manusia. Pada mulanya Bapa-Ku menciptakan surga dan bumi. IA menciptakan manusia dan membentuk wanita pertama dari tulang iganya agar mereka mengasihi, menghormati, mengagumi dan mematuhi-NYA. Namun karena dosa mereka, AKU dikirim sebagai Penebus.”

“Tetapi sekarang, manusia terus berdosa. Banyak yang gagal menemukan jalan keselamatan dan jatuh menjadi mangsa tipu muslihat Setan. Untuk itulah, Aku telah mengirim Ibu-Ku terlebih dahulu sebelum AKU dengan pesan Kasih Kudus. Aku datang setelah dia, mengungkapkan pesan Kasih Kudus dan melengkapi pesan Persatuan hati kami.”

“Inilah jalan keselamatan, kekudusan, kesempurnaan, keselarasan dan persatuan.”


Langkah 1: Keselamatan

Berserahlah kepada Kasih Kudus, yaitu dua perintah besar akan kasih. Di dalam penyerahan ini akan dibawa kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. Hatinya adalah Perlindungan spiritual umat manusia dan gerbang kepada Yerusalem baru yaitu Hati Yesus. Di dalam penyerahan ini jiwa akan mulai melihat dosa-dosa terbesarnya dan kesalahan-kesalahannya. Juga di dalam Hati Maria ini jiwa mulai menyadari kuasa dan pentingnya akan arti saat ini.

12 Agustus 2007. Yesus: ”Aku mohon perhatian, khususnya, pada panggilan universal ini dengan menyuarakan terompet yang menggelegar secara universal untuk masuk ke dalam Ruang Pertama. Jangan salah – Ruang Pertama tidak bisa diabaikan. Itulah dasar dan fondasi dari yang lainnya. Tidak ada progres spiritual tanpa pertama-tama dimurnikan di dalam Nyala Hati Ibu-Ku.

Siapa di antara kalian yang dapat menjadi kudus tanpa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik?”


Langkah 2: Kekudusan

Pintu masuk kepada Hati Kudus Yesus (Kasih Ilahi) melalui berserah pada kasih lebih dalam lagi. Jiwa mulai menyetarakan Kasih Suci dan Ilahi dengan Kehendak Ilahi Tuhan. IA menginspirasikan pada kekudusan dengan lebih hebat lagi berserah kepada Kehendak Tuhan, yaitu yang selalu adalah Kasih Kudus pada saat ini. Ia mulai mengerti bahwa kehendaknya diarahkan oleh apa yang dipegangnya di dalam hati.


Langkah 3: Kesempurnaan

Jiwa, kini berakar pada Kasih Kudus dan Ilahi, menaruh semua usahanya untuk disempurnakan di dalam kebajikan-kebajikan. Ia mempraktekkan kebajikan-kebajikan dengan rajin, berdoa untuk kebajikan-kebajikan di dalam jiwanya, dan saat Tuhan melihat usahanya yang layak, IA meresapkan jiwa tersebut pada kebajikan-kebajikan.


Langkah 4: Pengudusan

Ruang Hati Ilahi Yesus ini merangkul mereka yang telah berhasil menjadi selaras dengan Kehendak Ilahi Tuhan. Masih tetap terdiri dari dua bagian: jiwa yang terus mencari keselarasan dan yang telah berhasil akan hal ini; dan Kehendak Ilahi Tuhan.


Langkah 5: Persatuan dengan Kehendak Ilahi.
Hanya sedikit orang yang menjangkau bagian dalam kekudusan akan Hati Tuhan kita.

Kini hanya ada satu bagian. Diri sudah tidak ada lagi. Jiwa adalah satu dengan Tuhan dan Kehendak Ilahi-Nya. Inilah Yerusalem baru. (Santo Antonius – 20 Mei 2000)

Pengungkapan Ruang ke-enam – Hati Allah Bapa – Surga tertinggi – mulai pada bulan April 2003.


Langkah 6: Melebur di dalam Kehendak Ilahi

1 April 2003. Yesus: “Aku datang untuk menjelaskan kepadamu Ruang ke-enam. Itulah Hati Bapa Kekal. Hati Bapa Kekal merangkul semua ruang-ruang lain Persatuan Hati Kami. Di dalam ruang inilah janji Tuhan – sebuah perjanjian kasih yang baru. Jiwa yang berhasil masuk ke dalam Ruang ke-enam ini telah mencapai Surga tertinggi. Di dalam kehidupan ini, tempat itu diperuntukkan bagi mereka yang telah mencapai kekudusan. Di dalam kehidupan abadi, para kudus dan martir kasih telah mencapai Ruang ke-lima bergerak masuk ke dalam Surga tertinggi.”

“Karena Hati Bapa-Ku merangkul semua ruangan Persatuan Hati Kami, sadarilah IA memanggil setiap jiwa untuk melebur di dalam

Surga tertinggi. Bagi ia yang memiliki iman, segala sesuatunya mungkin.”

2 April 2003. St. Margaretha Maria Alacoque: “Ruang ke-enam adalah rangkulan Hati Tuhan yaitu Kehendak Ilahi. Jiwa merasakan rangkulan Hati Bapa semakin meningkat seiring jiwa ditarik masuk lebih dalam lagi ke pada ruang-ruang Persatuan Hati.

Demikianlah adanya, mohon lihatlah bahwa sementara jiwa ditarik masuk ke dalam Ruang pertama, ia merasakan rangkulan Bapa dimulai. Setiap urutan Ruang memungkinkan setiap jiwa untuk merasakan rangkulan Bapa semakin meningkat. Bapa yang Kekal mencoba untuk menarik setiap jiwa ke dalam Surga tertinggi.”

Abraham, Juru Syafaat Kota

Abraham sedemikian terkenal di sepanjang zaman. Nama ini disebut dalam 27 kitab Perjanjian Lama dan Baru. Laki-laki yang terlahir di Ur Kasdim ini meninggal pada usia 175 tahun dan dikenang umat manusia sebagai bapa orang beriman. Injil Matius pun dimulai dengan menyebut nama Abraham sebagai leluhur Sang Mesias. "inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham." (Matius 1:1) Abraham adalah seorang pemimpin dari kaum keluarga yang bertumbuh menjadi sebuah kelompok masyarakat yang besar. Alkitab mencatat bahwa Abraham sangat kaya, banyak ternak, perak, dan emasnya (Kejadian 13:2). Kaum kerabatnya sangat besar, apalagi ketika masih hidup bersama Lot dan keluarganya, mereka sampai kekurangan lahan untuk tempat tinggal (Kejadian 13:6).

Abraham juga memunyai pasukan militer yang terdiri dari tiga ratus orang lebih (Kejadian 14:14). Abraham menjadi pemimpin sebuah bangsa yang bertumbuh semakin kuat. Tuhan sendiri berjanji "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2).

Sebagai seorang pemimpin yang sangat berpengaruh, Abraham sangat diperhitungkan. Abraham sangat disegani oleh raja-raja. Firaun menyambutnya dengan baik di Mesir (Kejadian 12:16). Kuasa Tuhan atas Abraham membuat Firaun tertimpa tulah ketika ia berniat mengambil Sara menjadi istrinya (Kejadian 12:17). Hal itu membuat sang raja ketakutan. Abimelekh, raja Gerar juga menjadi sangat ketakutan karena ditegur Tuhan manakala hendak menghampiri Sara (Kejadian 20:6-8).

Pasukan Abraham berhasil mengalahkan koalisi raja-raja Timur yang menyerang kota Sodom (Kejadian 14:1-2). Rupanya pasukan Abraham sangat terlatih dan jumlahnya cukup besar, sehingga mampu mengejar musuh sampai jauh (Kejadian 14:14-15). Abraham beserta para raja lain memimpin peperangan itu. Akhirnya, Lot beserta semua tawanan dan harta benda yang dirampas musuh berhasil direbut kembali (Kejadian 14:16). Raja Salem bernama Melkisedek juga sangat menghormati kepemimpinan Abraham. Sebagai seorang iman Allah yang mahatinggi, Melkisedek memberkati Abraham, katanya, "Lalu ia memberkati Abram, katanya: "Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi." (Kejadian 14:19) Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Abraham diakui baik oleh kalangan sekuler maupun alim ulama.

Kehidupan Doanya

Keakraban hubungan Abraham dengan Tuhan terlihat bagaimana Tuhan berbicara kepada hamba-Nya ini. Ketika berumur 75 tahun, Tuhan memberi panggilan dan janji kepada Abraham dengan sangat jelas (Kejadian 12:1-4). Abraham pun taat, ia segera pergi ke negeri yang ditunjukkan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhan merupakan kunci keberhasilan seorang pemimpin. Melalui kehidupan doa yang mendalam, kita akan banyak memperoleh pimpinan Tuhan. Sama seperti Abraham, Tuhan akan menunjukkan jalan bagi pelayanan kita, bisnis kita, lokasi kerja kita, dan lain sebagainya.

Bersama Tuhan, seorang pemimpin tidak akan kekurangan tuntunan.

Pemazmur berkata, "Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya" (Mazmur 23:3b). Abraham juga senang mendirikan mezbah dan memanggil nama Tuhan (Kejadian 12:8; 13:4). Mezbah berbicara tentang bagaimana ia mempersembahkan korban syukur bagi Tuhan. "Memanggil nama Tuhan" menunjukkan pemahaman Abraham yang mendalam bagi pribadi Tuhannya. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menyatakan diri dalam beberapa nama seperti Elohim atau Sang Pencipta (Kejadian 1:1), Jehovah atau Pribadi yang dengan sendirinya (Kejadian 2:4), Adonai atau Tuan (Kejadian 15:2).

Abraham memberi contoh kehidupan doa yang tidak egois, yang hanya meminta-minta kepada Tuhan. Pemimpin Kristen harus belajar untuk memberi korban syukur kepada Tuhan, menaikkan pujian dan penyembahan sebagai ukupan yang harum bagi Allah. Banyak pemimpin Kristen yang tidak memunyai pemahaman mendalam mengenai Tuhan. Ada pun Abraham memahami dengan jelas siapa Allah itu. Jika seorang pemimpin memunyai pemahaman bagus mengenai Tuhan, kehidupan doanya akan menjadi efektif. Ketika keuangan mulai seret, kita bisa berdoa kepada Tuhan yang adalah Jehova Jireh (Tuhan yang memelihara hidup kita). Menghadapi ketidakadilan, kita berseru kepada Jehovah Tsidkenu (Tuhan keadilan kita).

Pada waktu sakit, kita bisa berdoa kepada Tuhan yang adalah Jehovah Rapha (Tuhan yang menyembuhkan). Kehidupan doa Abraham membawa dirinya memperoleh kunjungan Allah dalam bentuk penampakan manusiawi (Kejadian 18:1-2). Abraham bergaul karib dengan Tuhan serta menerima berbagai pengalaman adikodrati bersama Tuhan. Banyak pemimpin mengeluh karena kesepian, tetapi Abraham memunyai sahabat sejati yang bergaul karib dengannya, yaitu pribadi Tuhan sendiri.

Syafaat untuk Kota Sodom

Abraham bukan hanya senang berdoa, ia adalah seorang pendoa syafaat. Abraham tidak hanya berdoa untuk istrinya, anak yang dijanjikan Tuhan, bisnisnya, dan kelompoknya sendiri. Ia bukan seorang yang egois. Abraham juga berdoa untuk kota Sodom yang jahat. Seringkali seorang pemimpin hanya berdoa untuk gerejanya, lembaganya, jemaatnya, dan keluarganya sendiri. Sebenarnya Tuhan memberikan beban bagi para pemimpin untuk mendoakan kota mereka. Firman-Nya, "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu." (Yeremia 29:7) Untuk itulah sekarang dibangun "Jaringan Doa Sekota" dan kegiatan-kegiatan sejenisnya. Sangat menarik jika kita perhatikan bagaimana Tuhan berpikir. Tuhan bertanya kepada diri-Nya sendiri, "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan?" (Kejadian 18:17) Tuhan membeberkan rencana-Nya untuk menghancurkan kota Sodom dengan belerang dan api dari langit.

Tuhan akan menyatakan hal-hal besar kepada pemimpin yang tekun berdoa. Kata Tuhan, "Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui (Yeremia 33:3). Banyak pemimpin salah memprediksi masa depan, melakukan perencanaan jangka panjang dengan perhitungan yang menduga-duga. Tetapi dengan doa yang kuat, mata rohani kita menjadi tajam untuk melihat apa-apa yang akan terjadi di masa depan. Ketika mendoakan kota Sodom, Abraham melakukan tawar-menawar agar Tuhan membatalkan murka-Nya (Kejadian 18:23-32). Artinya, Tuhan sangat menghargai pandangan, argumentasi, dan masukan dari hamba-Nya. Doa syafaat Abraham bersifat dialogis, dua arah secara dinamis. Hal itu juga menunjukkan bagaimana ia sungguh berjuang demi keselamatan kotanya. Jenis pemimpin seperti inilah yang dicari Tuhan, seorang yang mau memperjuangkan nasib kotanya melalui doa. Demikian firman Tuhan, "Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya" (Yehezkiel 22:30).

Diambil dari:
Judul buku
:
Mezbah Doa Para Pemimpin
Judul artikel
:
Abraham: Juru Syafaat Kota
Penulis
:
Haryadi Baskoro
Penerbit
:
Yayasan ANDI, Yogyakarta 2008
Halaman
:
3 -- 8

Kamis, 28 Juli 2011

Charger Rohani

Kehidupan rohani kita bisa kehilangan semangat, kering, tak terkendali, bahkan terancam lumpuh karena beragam pergumulan hidup. Oleh karena itu, hidup kita harus selalu di-recharge. Orang Israel pun diperintahkan oleh Yosua untuk me-recharge kehidupan rohani mereka. Yosua menyadari bahwa bila Israel tidak memperkuat basis rohaninya, maka umat pilihan Tuhan itu bisa kehilangan kendali dan arah hidup yang sesungguhnya.

Yosua melakukan tindakan me-recharge rohani bangsa Israel dengan cara:
1) mendirikan mezbah bagi Tuhan (30) sebagaimana diperintahkan oleh Musa;
2) menulis kembali salinan hukum Musa (32); dan
3) memperdengarkan kembali perintah Tuhan secara utuh baik berkat maupun kutuk (34). Apa yang dilakukan Yosua, sesuai dengan firman Tuhan melalui Musa, yang terdapat di Ulangan 27:1-8). Bagi Yosua, inilah tugas esensialnya, yaitu agar umat Tuhan terus menerus berada dalam kondisi rohani prima.

Charger rohani bagi umat Kristen adalah persekutuan dengan Tuhan, yang diisi dengan doa dan perenungan firman Tuhan. Mengabaikan persekutuan dengan Tuhan sama saja dengan membiarkan hidup kita kering dan kosong. Akibatnya kita menjadi lemah karena tidak memiliki daya apa-apa.

Padahal bila kita tidak memiliki kekuatan rohani di tengah dunia yang penuh dengan berbagai ancaman terhadap iman kita, kita bisa terseret menjauh dari Tuhan. Hanya dengan kecintaan pada Tuhan dan firman-Nya maka kita akan bersedia menekuni kebiasaan merenungkan firman Tuhan sehari lepas sehari, dan menjadikan firman Tuhan itu sebagai panduan hidup kita.

Sediakanlah waktu untuk secara berkala di-recharge oleh Tuhan.

Sumber : http://www.sabda.org/


Dokter Kehidupan

Nats : Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku (Mazmur 26:2)

Apabila sakit, kebanyakan kita segera pergi ke dokter untuk minta diperiksa. Kita melakukannya agar dokter menemukan penyakit kita dan memberi obat yang tepat. Namun agar obatnya tepat, penyakit-nya pun mesti jelas dulu. Dokter yang baik tidak akan asal memeriksa, juga tidak asal memberi obat. Jika asal, bisa kacau semuanya.

Daud meminta Tuhan memeriksa dirinya (ayat 2). Jangan salah paham, Daud tidak bermaksud tinggi hati, pongah, atau sombong. Daud tidak menantang Tuhan seolah-olah ia tak punya salah atau mau menonjolkan kesucian hatinya. Bukan itu. Daud justru sedang mengadu kepada Tuhan bahwa ia membutuhkan keadilan.

Mengapa?
Sebab ia sudah hidup dalam ketulusan dan iman yang teguh (ayat 1).
Dalam suasana seperti inilah Daud mempersilakan Tuhan memeriksa dirinya. Ya, ia membuka dirinya untuk diperiksa. Ini tampak dari kata yang dipakai Daud: "selidikilah batinku dan hatiku" (ayat 2).

Kata Ibrani yang dipakai untuk kata "selidiki" di sini adalah tsaraph. Kata ini dipakai untuk menunjuk pada kegiatan memurnikan logam dari berbagai kotoran. Daud rindu Tuhan memurnikan dirinya. Ia memang sudah belajar hidup tulus dan beriman, tetapi ia sadar masih memerlukan pemurnian Tuhan setiap hari, agar hati dan batinnya terbebas dari segala "kotoran".

Apakah kita bersedia terus diselidiki Tuhan? Bukalah hati dan hidup Anda seluas-luasnya di hadapan Allah. Jangan cepat merasa puas diri; atau merasa sudah beres. Mintalah selalu agar Tuhan memurnikan hati kita setiap hari, melalui segala sesuatu yang diizinkan-Nya terjadi dalam hidup ini.

TUHAN ADALAH DOKTER KEHIDUPAN YANG MAHA JITU

PERIKSAKANLAH DIRI ANDA SELALU


Sumber : http://www.sabda.org/

MASALAH PILIHAN

 “Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang  ialah orang-orang seisi rumahnya. Siapa saja yang mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada Aku, Ia tidak layak bagi-Ku; dan siapa saja yang mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih daripada Aku, ia tidak layak  bagi-Ku. Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Siapa saja yang yang mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan siapa saja yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.

Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku. Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar,  ia akan menerima upah orang benar. Siapa saja yang memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Ia tidak akan kehilangan upahnya.

Setelah Yesus mengakhiri pesan-Nya kepada kedua belas murid-Nya, pergilah Ia dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil di dalam kota-kota mereka (Mat 10:34-11:1).

Pada hari Minggu Palma malam di tahun 1212 terjadilah peristiwa di Assisi yang sangat penting dalam ‘gerakan Fransiskan’ yang masih sangat muda pada waktu itu dan juga dalam sejarah Gereja. Pada malam itu seorang gadis muda-usia dari sebuah keluarga bangsawan Offreduccio yang baru berumur 18 tahun, melarikan diri dari rumahnya. Seperti telah disepakati bersama sebelumnya, di gereja Portiuncula gadis muda itu bertemu dengan seorang laki-laki muda bernama Francesco (Fransiskus) – si kecil miskin dari Assisi.

Di sana Francesco memotong rambut perempuan muda yang bernama Chiara (Klara) Offreduccio itu, mengenakan kepadanya sepotong jubah kasar. Di situ pula, di hadapan  Fransiskus, Klara membuat komitmen untuk mengabdikan hidupnya bagi “Tuan Puteri Kemiskinan”.  Keluarga Offreduccio sangat terkejut dengan hilangnya Klara dari rumah. Mereka kemudian berusaha untuk membawanya kembali ke rumah, namun Klara bersiteguh dengan pilihan hidupnya itu.

Pada waktu adiknya, Agnes, bergabung dengan Klara, keluarga Offreduccio mengirim 12 orang bersenjata guna ‘mengambil’ kedua perempuan muda itu. Namun ketika Klara berdoa, tubuh Agnes menjadi sedemikian berat sehingga tidak seorang pun yang datang menjemputnya mampu untuk mengangkat dia. Alhasil, baik Klara maupun Agnes dapat tetap tinggal dalam biara.

Pada masa itu Klara dipandang orang-orang sebagai salah seorang perempuan paling cantik di Assisi. Sebenarnya dengan mudah Klara dapat mendapatkan seorang suami yang baik dan terpandang dalam masyarakat. Akan tetapi Klara tidak memilih gaya hidup yang penuh kenyamanan dan kemakmuran, melainkan dia memilih hidup dalam sebuah biara tertutup. Di mata keluarganya keputusan Klara kelihatan tidak rasional samasekali, namun dia sangat mengerti bahwa Allah mempunyai suatu visi yang berbeda untuk hidupnya – suatu kehidupan yang penuh dengan ‘biaya pemuridan’ yang riil, tetapi dipenuhi oleh rahmat-Nya yang berlimpah. Sebagaimana dijanjikan oleh Yesus, Klara “kehilangan nyawanya karena Yesus, namun memperolehnya” (lihat Mat 10:39).

Klara juga menyadari sepenuhnya, bahwa dengan pilihannya itu dia akan kehilangan apa-apa saja, dan akan memperoleh apa-apa saja, dalam Yesus. Dalam suratnya yang pertama kepada Agnes dari Praha – seorang puteri raja dari Bohemia – yang juga telah meninggalkan kehormatan duniawi agar dapat dapat bergabung dengan ordo biarawati yang belum lama dimulai oleh Klara –

Klara menulis sebagai berikut: “Memang pertukaran yang besar dan terpuji yakni: meninggalkan barang yang fana ganti barang kekal, mendapat yang surgawi ganti yang duniawi, mendapat seratus kali lipat ganti satu dan memperoleh milik berupa hidup kekal dan bahagia (Surat pertama Klara kepada Agnes dari Praha, 30 [terjemahan Pater C. Groenen OFM]).

Memang ada begitu banyak hal-hal duniawi yang menggoda kita dalam usaha kita menjauhi atau mencampakkan kehidupan yang ditawarkan Yesus kepada kita. Walaupun kita tidak terbujuk oleh ‘wah’-nya hal-hal duniawi tersebut, tetap saja hal-hal itu dapat menimbulkan rasa tidak puas dalam diri kita atas segala hal yang telah kita miliki, apakah harta kekayaan, ilmu pengetahuan, ketenaran dsb. Terlampau sering kita melihat hal-hal duniawi yang memang berwujud – yang kita ingin tinggalkan – secara khasat mata itu jauh lebih jelas. Sebaliknyalah hidup berserah-diri kepada Kristus yang penuh sukacita itu sukar untuk dilihat secara khasat mata.

Tanpa relasi yang akrab dengan Kristus, tanpa asupan makanan rohani dan penghiburan dari Dia, maka kita tidak dapat meninggalkan kehidupan lama kita demi mengikut Yesus. Namun apabila kita terserap ke dalam cintakasih-Nya, kita pun sungguh akan menemukan diri kita dalam suatu gaya hidup sebagaimana ditawarkan-Nya kepada kita.

DOA: Tuhan Yesus, aku mempersembahkan hari ini kepada-Mu. Penuhilah hatiku dengan suatu hasrat berkobar-kobar untuk menyerahkan setiap saat kehidupanku kepada-Mu saja. Amin.


Sumber : http://catatanseorangofs.wordpress.com/

Senin, 25 Juli 2011

AKU LEMAH LEMBUT DAN RENDAH HATI 

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah gandar yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab gandar yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11:28-30).


Beban-beban kehidupan kadang-kadang dapat kelihatan seakan-akan datang tanpa henti-hentinya. Kita harus menyediakan kebutuhan primer seperti makan-minum dan tempat tinggal bagi keluarga kita. Dinamika keluarga dapat membuat kita tegang dan membesarkan anak-anak pada zaman yang penuh perubahan serta kompleks ini sudah jauh berbeda dengan zaman awal Republik tercinta kita ini.

Usia tua dan segala sakit-penyakit yang menjadi asesoris-nya dapat menyebabkan orang semakin terbenam dalam alam ketidakpastian, penderitaan fisik serta batin, dan tentunya biaya uang yang harus dikeluarkan. Namun demikian, lebih dari sebelumnya, kali ini kembali Yesus mengundang kita untuk memanggul salib-Nya: “Pikullah gandar yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat 11:29). 

Yesus berjanji akan membantu kita menanggung/memikul beban-beban kita selagi kita menerima salib-Nya dan belajar dari Dia. Menerima salib-Nya berarti kita menjawab undangan-Nya untuk menjadi murid-Nya.

Pemuridan memang berarti mengikuti Yesus, menjalani proses agar dapat menjadi serupa dengan Dia, namun tidak berarti menjalankan hal-hal yang harus dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan seturut sebuah daftar yang sangat panjang. Sekadar mengikuti do’s & don’ts list dapat membuat kita menjadi orang Farisi zaman modern. 

Kemuridan/pemuridan berarti kita memperkenankan Yesus untuk memancarkan terang-Nya atas pikiran-pikiran serta motif-motif kita dan menggerakkan kita agar menjadi taat dan patuh terhadap perintah-perintah-Nya. Dengan lemah lembut dan penuh bela rasa Dia akan menyatakan kasih-Nya dan membawa kesembuhan bagi kita.
Perjumpaan dengan Dia seperti itu dan mengalami kasih-Nya seperti itu sungguh akan mentransformasikan diri kita.  Situasi-situasi yang sulit malah menjadi peluang atau kesempatan bagi rahmat Allah untuk menggerakkan kita dan melalui kita, …… kepada orang-orang lain. 
Yesus mengundang setiap orang yang merasa letih lesu dan berbeban berat, bukan saja yang ‘suci’ atau mereka yang memiliki kecenderungan patuh dalam kehidupan beragama. Siapa saja dapat menanggapi undangan Yesus itu, berdasarkan alasan ‘karena Siapa Allah itu dan bukan karena siapa diri kita’. Dengan kuasa Yesus dan pengantaraan-Nya, bahkan ketika Dia kelihatan jauh, Dia siap untuk menolong kita memikul beban-beban kita.

Yesus adalah seorang Pribadi yang dapat dipercaya dan dengan setia Dia akan memenuhi segala hal yang telah dijanjikan-Nya kepada kita. 

Kita dapat berada di hadapan hadirat Allah dengan mengheningkan hati dan pikiran kita. Kita dapat bermeditasi atas satu/dua ayat Kitab Suci atau sebuah misteri Kristus. Kita dapat melakukan refleksi atas anugerah besar yang kita terima pada Ekaristi. Kita dapat mencari Hati Yesus pada diri orang-orang di sekeliling kita, melihat dalam diri orang-orang itu bagian dari kebesaran Allah, bukan sekadar sebagai seorang lain dengan siapa kita harus berhubungan. 

Oleh karena itu Saudari dan Saudariku, “Perkenankanlah Yesus hadir dalam diri anda. Dia rindu untuk menganugerahkan kepada anda hikmat-Nya, rahmat, kesembuhan dan bahkan mukjizat-mukjizat. Yang anda perlukan adalah minta kepada-Nya.” 

Minggu, 24 Juli 2011

Mengapa Orang-orang Mengikuti Engkau, Fransiskus?


Sekarang sudah delapan abad semenjak St. Fransiskus untuk pertama kalinya menyampaikan pesan Injilnya kepada dunia. Namun demikian tidak seorang pun meragukan daya tariknya atau relevansinya dewasa ini. Kesaksian yang diberikan oleh Si Miskin dari Asisi melampaui batas zaman dan budayanya sendiri. Hal itu tidak dapat dikungkung oleh batas suatu tradisi religius juga tidak oleh semacam “pemilikan privat” para pengikutnya. Hal itu merupakan suatu kenyataan roh, yang memiliki dinamikanya sendiri, yang daya tariknya tidak terbatas pada suatu waktu atau kelompok.

Justru ketika anda memikirkan bahwa anda telah mengungkapkan pesan itu dengan batasan-batasan atau ketika anda percaya bahwa hal tersebut telah dipahami dan dirumuskan sekali untuk selamanya, maka kekayaannya meledak dalarm pewahyuan akan kedalaman dan kekaguman yang baru. Banyak keluarga religius telah mengikutinya berabad-abad lamanya.

Mereka dan kelompok-kelompoknya telah menentukan parkembangan kharisma ini sebagaiman juga pelbagai “pembaharuan” dalam Tarekat-tarekat Fransiskan. Semua hal itu menunjukkan betapa mendalam kekayaan roh yang tidak- dapat tinggal diam ini. Kita sedang berbicara tentang suatu pesan dan suatu spiritualitas yang mengklaim suatu kebebasan dan joi de vivre (kegembiraan hidup) yang pantas untuknya. Semakin tidak terjamin, semakin “krasan”.

Setiap jejak paerbudakan menghilang di hadapan pesan yang diwartakan pada hari itu di alun-alun kota Asisi, di hadapan Uskup dan penduduk kota yang tercengang-cengang. Itu adalah saat ketika Fransiskus menanggalkan pakaiannya dan mengembalikannya kepada bapanya dengan kata-kata: “Mulai sekarang ini aku dapat mengatakan dengan leluasa: ‘Bapa kami yang ada di surga …’ dan bukan lagi ‘bapaku Pietro Bernardone’”. Semenjak itu tidak ada lagi setelan pakaian yang cocok untuknya.

“Fransiskus, mengapa seluruh dunia mengikuti engkau dan semua orang mau melihat, mendengar engkau dan taat kepadamu? Fransiskus, mengapa orang-orang mengikuti engkau” (Fior 10).

Pertanyaan saudara Maseo akan mendapat pelbagai jawaban dewasa ini: “Karena semangat puitismu”, “karena cintamu akan alam dan segala ciptaan “karena engkau berbagi secara instingtif dengan yang termiskin dari orang miskin”, “karena kemampuanmu untuk manyatukan pihak-pihak yang saling berlawanan dalam perujukan dan perdamaian”. Daftar jawaban dapat diteruskan. Nyatanya setiap zaman mempunyai daftar hal-hal yang paling erat berkaitan dengannya.

Setiap keluarga atau lembaga Fransiskan, dari antara ratusan yang muncul dalam perjalanan abad-abad, dapat mengklaim dan memberi batasan pada lambang dan “kebiasaan”-nya sendiri, tatanan dan karya yang dipilihnya sendiri. Tetapi janganlah melihat pekerjaan atau bentuk-bentuk lahiriah seolah-olah semua hal itu merupakan ungkapan definitif spiritualitas Fransiskan! Kepada setiap saudaranya Fransiskus mengulangi yang berikut: “Janganlah berkata kepadaku tentang suatu Anggaran Dasar, entah Anggaran Dasar St. Benediktus, St. Augustinus entah St. Bernardus; janganlah berbicara tentang suatu cita-cita atau bentuk hidup yang lain daripada yang Tuhan sudi berikan dan tunjukkan kepadaku dalam belaskasihan-Nya. Tuhan telah memberitahukan kepadaku agar aku mau manjadi serupa dengan-Nya, yakni seorang bodoh di dunia ini” (Cerkes 68; lih. 1 Kor 4:10).

Fransiskus, sebuah mukjizat hidup Injili tampil pada saat ketika hidupnya, yang sampai saat itu dibentuk oleh perdagangan dan perolehan dan berpakaikan perlengkapan ksatria, mengubah haluan menjadi gambar Yesus yang miskin, gambar seorang Allah yang menyatakan diri-Nya dalam kemiskinan, menjadi rapuh, mengosongkan dirinya dengan tindakan penyerahan diri yang paling radikal- “Putra Manusia tidak mempunyai sesuatu pun untuk rneletakkan kepala-Nya”.

Justru dalam keadaan tidak terjamin yang dipilih oleh Putera Allah untuk hidup-Nya di dunia Sang Santo dari Asisi menemukan jaminannya. Inilah titik acuan, cakrawala benderang yang sama sekali menguasainya sehingga segala sesuatu di sekitarnya berubah rupa dan maknanya. Dengan demikian muncullah hubungan-hubungan yang bebas dan membebaskan. Kekuatan baru mengalir di dalam dirinya: kedalaman makna yang baru muncul, suatu afektivitas yang tidak terhambat, suatu kekayaan imaginatif akan lambang-lambang yang dengan bertambahnya tahun menjadi semakin berani dan semakin membawa harapan.

Berpusatkan keyakinan: “Sekarang saya dapat mengatakan dengan leluasa: Bapa kami yang Ada di surga”, seluruh hidup menjadi sederhana dan suatu yang menyeluruh. Kemisikinannya memberikan ruang kepada Roh, yang pada gilirannya, menggandakan kamampuan kreatifnya yang berasal datri Allah dan hanya dari Dia saja.

Mengapa Fransiskus masih tetap menjalanan apa yang mengasyikkannya dan tidak membiarkan kita tidur dengan tenteram? Pasti karena ia mengembalikan kita kepada Khabar Gembira, langsung menuju pesan Injil yang sederhana dengan tawarannya: “Sekaranglah giliranmu untuk mengejawantahkan Injil dalam tubuh dan hatimu dan melakukannya dengan berani dan tanpa ragu-ragu. Engkau berada dalam pelukan Allah Bapa. Jangan takut!”

Fransiskus menarik karena ia mengeluarkan dan mengungkapkan kepada semua orang kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di dalam diri kita yang tidak lepas bebas karena kekhawatiran akan pelibatan diri kita sendiri yang melumpuhkan. Ketika menyerahkan dirinya kepada Allah Fransiskus menyadari kepercayaan akan dirinya sendiri, seraya mengetahui bahwa dia sendiri adalah penerima karunia Allah yang tiada habisnya, seraya menyampaikan bentuk-bentuk pengungkapan yang tiada batasnya.

Hal itu menunjukkan kepadanya kegembiraan karena penolakan segala sesuatu yang menjadi miliknya dan kebebasan Kerajaan. Hal itu membuka pandangan tentang daya hidup yang nampak dalam dan dengan bantuan hubungan-hubungan dengan orang lain dan dengan seluruh ciptaan, yang membuat dia menjadi seorang manusia dialog, manusia persekutuan dan manusia perdamaian.

Tetapi penyerahan diririya yang total seperti pada seorang anak yang percaya pada orang tuanya atas segala sesuatu, hanya diperoleh melalui upaya mendengarkan Firman Allah setiap hari, seakan-akan dengan melindungi Allah terhadap diri kita sendiri, dengan menerima dengan berani cara-cara di mana kita dilepaskan harta milik kita.

“Fransiskus”, kata penulis riwayat hidupnya yang pertama, “kelihatan seperti seorang dari dunia yang lain” (I Cel 36). Hal itu merupakan suatu dunia yang lebih manusiawi, lebih bersaudara, lebih penuh rasa hormat, suatu dunia rasa-setia-kawan; dunia yang kita semua. cita-citakan dan inginkan. Hal itu dapat merupakan dunia milenium ketiga. Apa yang diperlukan adalah menolak untuk menerima secara pasif banyak bentuk penyembahan ber-hala dan egosentrisme yang membayangi kita, tetapi menerima dengan hati yang dibaharui maksud Allah yang semula untuk perkembangan kita.

Sangatlah panting bahwa sekali lagi dengan penuh entusiasme kita mewujudkan di dalam diri kita kesegaran pesan Injil yang sampai pada kita pertama-tama karena daya tarik Fransiskus. Kita harus menemukan bentuk-bentuk baru melalui mana hakekat hal ini akan kelihatan dengan lebih baik, diungkapkan dengan lebih baik sehingga maknanya nampak dengan jelas. Kita harus menemukan “kantong-kantong baru untuk anggur baru” agar hidup kita menjadi kesaksian yang jelas tentang Dia pada siapa kita telah menaruh harapan kita.
Pada saat hendak meninggal si Miskin memberikan kepada kita masing-masing, laki-laki dan perempuan, perintah yang besar,: “Aku telah menyelesaikan bagianku; semoga Kristus mengajarkan kamu untuk melakukan bagianmu” (2 Cel 214). Fransiskus telah meninggalkan kita isi yang “telanjang” sama seperti tatkala ia berdiri telanjang di alun-alun kota Asisi. Adalah tugas kita untuk mengenakannya pada tubuh kesaksian kita.

“Mengapa orang-orang mengikuti engkau, Fransiskus?” Ketika Fransiskus melewati jalan-jalan, mereka mengikutinya karena mereka merasakan bahwa di dalam dirinya terdapat sesuatu yang lebih daripada dirinya. Tugas kita sekarang adalah menyegarkan, mempraktekkan pesan tersebut sesuai dengan keadaan kita dewasa ini. Kita tidak boleh mangecewakan harapan dunia di mana kita hidup.

Sdr. Giacomo Bini, OFM
(Dari: Franciscan Martyrs of China. Canonization of the Martyrs of China, Sunday 1st October 2000.)
http://ofm.or.id/mengapa-orang-orang-mengikuti-engkau-fransiskus/

Menghayati Tanda Salib

Pada abad-abad permulaan, orang Kristen dikejar-kejar, dianiaya, dibunuh dan disiksa terutama oleh orang-orang Romawi. Dalam situasi yang sulit itu mereka bertemu dengan seorang Jenderal Romawi yang sangat baik dan bersimpati dengan orang-orang Kristen. Nama Jenderal Romawi ini adalah Konstantinus - nama yang sekarang diabadikan untuk nama kota Konstantinopel (sekarang dikenal sebagai kota Istambul - Turki).
Pada malam sebelum berperang melawan Maxentius di pinggiran kota Roma, Konstantinus bermimpi bahwa seseorang memberi tahu dia agar menandai semua perisainya dengan tanda salib : “In Hoc Signum Vinces” (Dengan Tanda Ini engkau akan menang). Konstantinus pun mengikuti nasehat ini dan tanda salib itulah yang mengakhiri penganiayaan terhadap orang Kristen yang telah terjadi selama beratus-ratus tahun dan Konstantinus menjadi Kristen.

Sebenarnya apa makna Tanda Salib? Tanda salib ini mengandung arti yang sangat mendalam yaitu 1) kemanunggalan dari Allah Trinitas, 2) salib yang merupakan tanda keselamatan dan kemenangan orang-orang Kristen, yang disebabkan oleh kemenangan Kristus atas dosa dan maut. Jadi tanda salib ini merupakan lambang yang berdasarkan Alkitab (lih. Yeh 9:4, Kel 17:9-14, Why 7:3, 9:4 dan 14:1), dan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Yesus. Bahkan Rasul Paulus sendiri bermegah dengan pewartaan salib Kristus (Gal 6:14), sehingga wajarlah jika kita sebagai pengikut Kristus membawa makna tanda salib ini kemanapun kita berada.

Menurut sejarah, diketahui bahwa Tanda Salib memang merupakan tradisi jemaat awal, yang dimulai sekitar abad ke-2 berdasarkan kesaksian para Bapa Gereja, terutama Tertulianus, yang dilanjutkan oleh St. Sirilus dari Yerusalem, St. Efrem dan St. Yohanes Damaskus. Jadi walaupun kita tidak membaca ajaran mengenai tanda salib ini dilakukan oleh para rasul di dalam Alkitab, namun bukan berarti bahwa tanda salib ini tidak berdasarkan Alkitab.

Sebab, biar bagaimanapun, makna yang terkandung dalam pembuatan tanda salib ini terpusat pada Kristus, untuk mengingatkan para beriman akan keselamatan yang dapat diperoleh oleh jasa Kristus yang tersalib dan bangkit.

Maka tanda salib ini bagi umat Kristen adalah tanda yang harus kita bawa kemanapun sebagai tanda yang mengingatkan kita kepada salib Kristus yang menyelamatkan kita. Tradisi ini serupa dengan tradisi bangsa Yahudi yang memakai “tefilin” yaitu semacam kotak hitam yang berisi naskah Alkitab, yang mereka ikatkan di dahi mereka, sebagai pelaksanaan dari perintah dalam kitab Ul 6:4-8: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu…” Tanda di dahi ini juga disebutkan di dalam kitab Yeh 9:4.

Tanda Salib menurut Para Bapa Gereja


Maka bagi umat Kristiani, tradisi membuat tanda salib ini sudah berakar sejak lama, bahkan dari Alkitab Perjanjian Lama, dan juga Perjanjian Baru, yaitu dari kitab Wahyu Why 7:3; 9:4; 14:1. Berakar dari ajaran Kitab Suci inilah, maka Para Bapa Gereja mengajar demikian:

1) Tertulianus (abad 2) mengajarkan dalam De cor Mil, iii: “Dalam perjalanan kita dan pergerakan kita, pada saat kita masuk atau keluar, ….. pada saat berbaring ataupun duduk, apapun pekerjaan yang kita lakukan kita meanndai dahi kita dengan tanda salib.”

2) St. Sirilus dari Yerusalem (315-386) dalam Catecheses (xiii, 36) mengajarkan, “Maka, mari kita tidak merasa malu untuk menyatakan Yesus yang tersalib. Biarlah tanda salib menjadi meterai kita, yang dibuat dengan jari-jari kita, di atas dahi … atas makanan dan minuman kita, pada saat kita masuk ataupun keluar, sebelum tidur, ketika kita berbaring dan ketika bangun tidur ketika kita bepergian ataupun ketika kita beristirahat.”

3) St. Efrem dari Syria (373) mengajarkan, “Tandailah seluruh kegiatanmu dengan tanda salib yang memberi kehidupan. Jangan keluar dari pintu rumahmu sampai kamu menandai dirimu dengan tanda salib. Jangan mengabaikan tanda ini, baik pada saat sebelum makan, minum, tidur, di rumah maupun di perjalanan. Tidak ada kebiasaan yang lebih baik daripada ini. Biarlah ini menjadi tembik yang melindungi segala perbuatanmu, dan ajarkanlah ini kepada anak-anakmu sehingga mereka dapat belajar menerapkan kebiasaan ini.”

4) St. Yohanes Damaskus (676-749) mengajarkan, “Tanda salib diberikan sebagai tanda di dahi kita, …. sebab dengan tanda ini kita umat yang percaya dibedakan dari mereka yang tidak percaya.”

Memang dalam hal cara membuat tanda salib itu terjadi perkembangan, karena pada awalnya tanda salib hanya dibuat di dahi saja, namun kemudian diajarkan juga untuk membuat tanda salib di mulut (St Jerome, Epitaph Paulae) dan di hati (Prudentius, Cathem., vi, 129). Tanda salib seperti yang kita kenal sekarang, yang secara jelas diajarkan oleh Paus Innocentius III (1198–1216), seperti demikian:

“The sign of the cross is made with three fingers, because the signing is done together with the invocation of the Trinity. … This is how it is done: from above to below, and from the right to the left, because Christ descended from the heavens to the earth, and from the Jews (right) He passed to the Gentiles (left). Others, however, make the sign of the cross from the left to the right, because from misery (left) we must cross over to glory (right), just as Christ crossed over from death to life, and from Hades to Paradise. [Some priests] do it this way so that they and the people will be signing themselves in the same way. You can easily verify this — picture the priest facing the people for the blessing — when we make the sign of the cross over the people, it is from left to right…“

Cara membuat tanda salib


Memang terdapat beberapa cara untuk membuat tanda salib. Yang terpenting di sini adalah makna yang ingin disampaikannya, dan penghayatan orang yang membuat tanda salib ini. Maka cara yang mendetail sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah, seperti apakah membuatnya dengan dua jari (jari penunjuk dan jari tengah, yang melambangkan dua kodrat Yesus, yaitu Allah dan manusia) atau tiga jari (yang melambangkan Trinitas), atau kelima jari (melambangkan kelima luka-luka Yesus di kayu salib). Atau arah salibnya ke kanan dulu baru kiri (seperti yang dilakukan Gereja-gereja Timur dan Orthodox) atau ke kiri dahulu baru ke kanan (seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma).

Umumnya caranya adalah demikian:


Dengan dua atau tiga (atau lima jari) jari tangan kanan di dahi (sambil mngucapkan: “Atas nama Bapa”), tangan kemudian ke dada -melambangkan hati atau ke perut - menunjuk kepada luka Yesus di perut-Nya ataupun rahim di mana Yesus dikandung oleh Bunda Maria (sambil mengucapkan “dan Putera”, kemudian tangan menuju ke bahu kiri dan kanan (sambil mengucapkan “dan Roh Kudus” Amin). Dan tangan kembali terkatup.

Kapan kita membuat tanda salib?
  1. Pada saat sebelum dan sesudah kita berdoa.
  2. Ketika kita melewati setiap bangunan gereja Katolik, untuk menghormati kehadiran Tuhan Yesus di dalam tabernakel.
  3. Ketika memasuki gereja (membuat tanda salib dengan air suci)
  4. Saat-saat sedang menghadapi ketakutan (misalnya: ketika kita mendengar sirine ambulans, mobil kebakaran) ataupun ketika menerima kabar duka cita orang yang meninggal.
  5. Ketika kita melihat Salib Kristus, ataupun di saat-saat lain untuk menghormati Kristus, memohon pertolongan-Nya,
  6. Ketika hendak mengusir godaan, ketakutan maupun mengusir pengaruh kuasa jahat.
  7. Ketika ayah, sebagai imam dalam keluarga memberikati anak-anaknya, ia dapat menandai anak-anaknya dengan tanda salib di dahi mereka, misalnya sebelum anak-anak berangkat ke sekolah atau sebelum mereka tidur pada waktu malam hari.
Semoga kita dapat menghayati makna tanda salib ini, dan menjadikan tanda salib sebagai bagian dari hidup kita sendiri. Setiap kita membuat tanda salib kita mengingat dan menhormati Kristus yang oleh kasih-Nya rela menyerahkan hidup-Nya di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita.

Semoga kita dapat berkata bersama dengan Rasul Paulus, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.” (Gal 6:14).

(sumber: www.katolisitas.org)

Modernitas dan Agama

Agama Kristen tidak hanya turut menghasilkan modernitas melainkan juga menyanderanya. Di satu pihak banyak perkembangan yang diklaim oleh modernitas di negara-negara Barat, seperti universalisme, konsep-konsep subjek individual, sejarah, suatu dunia yang dapat diubah, kesetaraan, martabat pribadi dan sebagainya, juga menjadi milik agama Kristen.

Di lain pihak, berabad-abad lamanya Gereja-gereja Kristen mengidentifikasikan dirinya dengan sejarah penguasaan, ketidakadilan, kolonialisme, machismo dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkinlah membedakan pesan Kristen yang sebenarnya dengan perwujudannya yang konkret dalam sejarah.

Karena itu, jika orang-orang Kristen mau melayani umat manusia dalam masa krisis ini, haruslah mereka membersihkan dirinya dan bertobat, kembali ke sumber-sumber imannya yang asali, menyelamatkan harta pusaka rohani mereka yang kaya dan paling manusiawi dan warisan mereka yang paling khusus untuk memberikan makna pada kehidupan, dan dengan segenap tenaga melibatkan dirinya pada proyek-proyek yang menyelamatkan umat manusia.

Agama Kristen dan agama-agama besar di dunia ini mempunyai sarana untuk bertindak sebagai perantara-perantara kebijaksanaan, dengan mengingatkan umat manusia akan panggilannya yang luhur, akan cita-citanya untuk mewujudkan pelbagai alternatif yang sahih dan pantas.

Jadi, dengan modernitas itu sendiri serta pelbagai keterbatasan dan kontradiksinya, kita diminta untuk menyelidiki kembali hakekat manusia, keutuhan keberadaan manusia dan karena itu, juga pribadi St. Fransiskus. Di dalam agama Kristen, hanya ada sedikit saja tokoh inspiratif yang diterima dengan baik seperti St. Fransiskus.

Dalam sejarah dunia, hanya sangat sedikit saja tokoh yang dihormati dan dipuji dengan suara bulat di semua bidang dan budaya, yang sangat berbeda dari budayanya sendiri. Nyatanya, St. Fransiskus sudah tidak lagi menjadi milik Gereja dan biara-biaranya saja. Dia sudah menjadi seorang tokoh yang universal.


Dari : Alberto da Silva Moreira, Saint Francis and Capitalist Modernity: A View From The South, Franciscan Digest X, no. 1, March (2000), 102-103.

Sumber  :  http://ofm.or.id/modernitas-dan-agama/

Bacaan Setahun : Mazmur 64-67
Nats : ... hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan (Matius 3:8)

PERTOBATAN SEJATI


Apa bedanya bertobat dan menyesal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penyesalan adalah pengakuan yang menyatakan bahwa kita telah salah langkah. Sementara itu, pertobatan adalah pengakuan ditambah sikap rela memperbaiki kesalahan, dengan cara kembali tunduk pada perintah-perintah Allah. Pertobatan tanpa kesediaan untuk memperbaiki diri bukanlah pertobatan, melainkan baru penyesalan.

Untuk lebih memahami perbedaan keduanya, mari kita menyimak kisah yang ditulis dalam Ulangan 1 ini. Allah memerintahkan bangsa Israel untuk pergi dan menduduki pegunungan Amori (1:7), tetapi mereka menolaknya. Walaupun bangsa Israel memiliki alasan (1:28), jelas bahwa hal ini merupakan pemberontakan terhadap Allah, Sang Pemberi perintah. Dan, pemberontakan tersebut akhirnya mendatangkan penghukuman bagi mereka. Akan tetapi, ternyata berita penghukuman dari Allah tersebut tidak membawa mereka pada pertobatan, tetapi hanya sampai pada titik penyesalan. Mereka mengaku salah dan dengan emosional menyatakan hendak memperbaiki kesalahan dengan menyatakan diri siap untuk berperang. Akan tetapi, kali ini Allah melarang mereka untuk maju berperang. Ironisnya, sekali lagi mereka tidak mau mendengar dan taat pada perintah Allah.

Pertobatan tanpa disertai kesediaan untuk taat kepada Allah adalah pertobatan yang semu. Jadi, pertobatan bukanlah sekadar mengaku perbuatan-perbuatan salah lalu dengan emosional berupaya memperbaiki kesalahan tersebut. Pertobatan yang sejati hanya terjadi apabila kita bersedia merendahkan dan menundukkan diri kita kembali di hadapan Allah.

BERHATI-HATILAH DENGAN PERTOBATAN YANG EMOSIONAL

KARENA JANGAN-JANGAN PERTOBATAN ITU PALSU


Cermin Santa Klara

Fransiskus bertemu dengan Tuhan ketika ia memeluk orang kusta dan saat meminta batu dan makanan; dan ia tidak pernah dibelokkan dari jalan itu, karena ia telah menemukan Tuhan di sana. St. Klara menemukan Allah dalam kemiskinan kontemplasi, dan pada gilirannya ia tidak pernah belok dari jalan itu sampai akhir hidupnya. Bagi Klara, kemiskinan dan kontemplasi begitu erat terjalin sehingga kontemplasi mengandaikan kemiskinan, karena Tuhan berjanji dan memberikan Kerajaan Surga hanya kepada orang-orang miskin.

Di dalam salah satu suratnya ia menuliskan, Betapa terpujilah pertukaran ini: meninggalkan hal-hal sementara demi hal-hal yang abadi, memilih perkara-perkara surgawi sebagai ganti barang-barang duniawi, menerima seratus kali lipat sebagai ganti dari satu, dan memiliki kehidupan yang terberkati dan abadi.

Seperti Fransiskus, kemiskinan Klara bukanlah demi kemiskinan itu sendiri tetapi karena kemiskinan itu membuat Kerajaan Allah hadir dan karena kerinduan yang berkobar akan Sang Miskin yang Tersalib.
Karena Tuhan yang agung dan baik, dengan masuk ke dalam rahim Sang Perawan memilih nampak sebagai yang dipandang rendah, melarat dan miskin di dunia ini, supaya orang yang berada dalam kemiskinan dan kehilangan yang mengerikan serta orang yang amat membutuhkan makanan surgawi menjadi kaya di dalam Dia dengan memiliki kerajaan Surga, maka Anda yang telah memilih kemiskinan harus bersukaria dan bergembira!

Kristus yang miskinlah yang senantiasa dipandang, diperhatikan dan dikontemplasikan dengan tekun oleh Klara, karena Dialah gambar Allah, Sang Cermin yang harus kita kontemplasikan.

Gambaran tentang cermin inilah pusat spiritualitas St. Klara. Sebagaimana Fransiskus adalah cermin dari Kristus dan Kristus cermin dari Bapa, maka hidup kontemplatif berarti melihat ke dalam cermin, yakni Kristus, dan di sana orang melihat dirinya sendiri dan karena itu belajar tentang siapa dirinya yang sesungguhnya. Dengan melihat ke dalam cermin, yakni Kristus, dan mengenal diri Anda sendiri, Anda menjadi sebuah cermin dari Dia yang Anda tatap dan pada gilirannya Anda juga menjadi cermin semua ciptaan, melalui Kristus kepada Bapa. Anda melihat diri Anda sendiri baik “di dalam” sebuah cermin maupun “sebagai” sebuah cermin.

Santa Klara menulis kepada saudari-saudarinya: Karena Tuhan sendiri tidak hanya menempatkan kita sebagai teladan dan cermin bagi orang-orang lain, tetapi juga bagi saudari-saudari kita sendiri yang telah dipanggil oleh Tuhan kepada cara hidup kita, sehingga pada gilirannya mereka akan menjadi cermin dan tealadan bagi mereka yang hidup di dunia.
Perumpamaan yang kompleks ini menunjukkan pengetahuan Santa Klara yang mendalam akan Kitab Suci, bacaan-bacaan dari Bapa-bapa Gereja, dan akan syair-syair dari para trobador (pencerita hikayat), yang semuanya penuh dengan perumpamaan tentang cermin.

Sebagai contoh, ada sebuah versi terkenal abad keduapuluh tentang hikayat Narcissus karya Ovidus. Dalam versi ini, Narcisus dikisahkan oleh sang trobador sebagai orang yang mengenali bahwa dirinya berbeda dari bayangannya di air, dan karena itu ia menemukan identitas dirinya yang terpisah. Namun demikian, bagi seorang kontemplatif seperti Klara, timbulnya kesadaran diri melalui pengenalan tidaklah cukup. Ia menemukan identitasnya yang sejati dengan memandang Kristus dan di sana melihat dirinya sendiri sebagai sebuah gambar dari Yang Ilahi; dan semakin sempurna ia mencerminkan gambar Kristus, semakin nyatalah gambaran dirinya. Dalam satu surat kepada Agnes dari Praha yang terberkati, ia berkata: Karena penglihatan akan Kristus merupakan kemegahan kemuliaan kekal, sinar cahaya kekal dan cermin tanpa noda, maka pandanglah cermin itu setiap hari, O Ratu dan mempelai Yesus Kristus, dan selidikilah terus menerus paras wajahmu di dalamnya, sehingga engkau dapat menyelimuti dirimu secara bathiniah dan lahiriah dengan mantol-mantol indah dan menutup dirimu dengan bunga-bunga dan pakaian segala keutamaan, karena menjadi saudari dan mempelai termurni dari Raja yang Mahatinggi. Sungguh, kemiskinan yang tersuci, kerendahan hati yang suci, dan kasih yang tak terkatakan terpantul dalam cermin itu, dan dengan rahmat Allah, Anda dapat mengkontemplasikannya melalui keseluruhan cermin itu.

Kemudian ia memperluas perbandingannya untuk memasukkan keseluruhan cermin itu. Pandanglah sisi-sisi cermin ini, dan lihatlah kemiskinan Dia yang diletakkan dalam palungan dan terbungkus dalam kain lampin. Kemudian, sambil memandang permukaan cermin itu, tinggalah dalam kerendahan hati yang suci, kemiskinan tersuci, pekerjaan dan beban tak terhitung banyaknya yang dipikul-Nya demi penyelamatan semua manusia. Kemudian, pada pusat terdalam dari cermin itu, tataplah kasih tak terlukiskan yang menuntun Dia untuk menderita di kayu Salib, mati di atasnya, sebuah kematian yang paling memalukan. Karena itu, Cermin yang bergantung di kayu salib itu mendesak orang-orang yang lewat untuk merenungkannya, sambil berkata: “Hai kamu semua yang melewati jalan itu, pandanglah dan lihatlahlah, adakah penderitaan seperti penderitaan-Ku”.
Kenyataan paling menyentak yang hendak dihadapkan kepada kita oleh perumpamaan ini adalah kemiskinan Allah. Kristus yang Miskin itu adalah citra Allah. Allah itu miskin, Allah itu menghampakan diri; dan di dalam kemiskinan dan keserupaan kita dengan Krisutus yang miskin dan tersalib, kita menjadi cermin-cermin dari Allah sendiri. Maka dari itu, kemiskinan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi merupakan sebuah jalan untuk ditransformasikan ke dalam citra Allah Tritunggal dengan mengkontemlasikan Sang Cermin dari Allah Tritunggal, yakni Yesus Kristus sendiri. Sebagaimana sebuah cermin itu meskipun bersifat material, tetapi toh menyimpan citra imaterial, demikian pun Kristusyang miskin, ia adalah manusia dan dapat dilihat, namun Ia juga merupakan Citra Allah yang tidak kelihatan, yang miskin dalam Tri Tunggal yang mengosongkan dirinya sekaligus merupakan sebuah pemenuhan.

Maka tidak mengherankan kalau Santa Clara berpegang amat teguh kepada kontemplasi dan kemiskinan sebagai sebuah cara hidup: Keduanya adalah satu: kontemplasi kemiskinan menjadi kemiskinan Kontemplasi.

Sumber:
(Murray Bodo, The way of St.Francis: the challenge of franciscan spiritualitiy for everyone, St.Anthony Messanger Press, Cincinnati, OH, hal. 29 – 31)


http://ofm.or.id/cermin-st-klara/

Butir Renungan Transitus :

Doa Fransiskus Di Hadapan Salib San Damiano

St. Fransiskus dari Assisi, santo pelindung binatang dan lingkungan hidup, adalah pendiri Ordo Fransiskan. Ia menjalankan Injil secara harafiah dengan  mengikuti semua yang Yesus katakan dan lakukan. Pestanya dirayakan setiap tanggal 4 Oktober. Sebelum perayaan 4 Oktober biasanya keluarga besar fransiskan-fransiskanes memperingati ‘transitus’ Fransiskus Assisi.


Transitus adalah istilah fransiskan untuk mengilustrasikan beralihnya jiwa Si Miskin dari Assisi dari dunia yang fana ke surga penuh kemuliaan. Biasanya para keluarga fransiskan-fransiskanes memperingati transitus ini dengan ibadat bersama dalam komunitas dan diadakan renungan dengan butir-butir permenungan yang diambil dari beberapa pokok penting dalam masa hidup Fransiskus.

Pada kesempatan ini butir renungan transitus diambil dari salah satu peristiwa penting awal pertobatan Fransiskus yang mencerminkan motivasi dan hati yang sesungguhnya dari St. Fransiskus Assisi.

Doa Di Hadapan Salib


Allah yang Mahatinggi dan penuh kemuliaan,
terangilah kegelapan hatiku
dan berilah aku
iman yang benar,
pengharapan yang teguh,
dan kasih yang sempurna
berilah aku, ya Tuhan,
perasaan yang peka
dan budi yang cerah,
agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu
yang kudus dan yang takkan menyesatkan.



Saya sering berefleksi berdasarkan doa ini, dan sebagai seorang sarjana Fransiskan saya membuktikan bahwa doa ini benar-benar digubah oleh St. Fransiskus sendiri. Tiap kali saya mendoakannya, semakin saya yakin bahwa doa ini mengungkapkan isi hati St. Fransiskus yang sebenarnya.

Terangilah Kegelapan Hatiku
Doa Fransiskus tidak dimulai dengan kalimat yang mengandung arti “Kesengsaraaan diriku” atau betapa sengsaranya jiwa. Namun doa ini diawali dengan fokus kepada kemuliaan serta betapa mulianya keindahan Tuhan.

Hanya dengan mengucapkan kata-kata tersebut dalam semangat pujian, hati kita semakin ringan dan kita merasa diayunkan ke dalam kehadiran Tuhan yang penuh kemuliaan! Doa ini dimulai dengan kata-kata pujian! Pujian berarti mengangkat kita dari keasyikan atas diri sendiri dan kegelisahan kita. Pujian dan ucapan syukur membantu mencerahkan kegelapan hati saya.

Karena suatu alasan, saya merasa senang karena Fransiskus menggunakan kata ‘hati’ daripada ‘pikiran’, saat ia berkata “Terangilah kegelapan hatiku”. Kata ‘pikiran’ seakan membawa kita lebih banyak ke kepala. Dan ini bukanlah sikap St. Fransiskus yang sesungguhnya. Sikap St. Fransiskus yang sesungguhnya berasal dari hati. Hati memberi kesan kompleksitas kasih manusiawi dan misteri hasrat keinginan yang terdalam pada manusia-dengan semua sukacita dan dukacita yang ada padanya.

Hati Fransiskus sangat terarah pada kepenuhan misteri curahan kasih Tuhan. Suatu kali, menurut St. Bonaventura (1221-1274) - penulis riwayat hidupnya - sementara berdoa dalam tempat yang sunyi, Fransiskus mendapatkan penglihatan Kristus yang sedang memandangnya dari salib dengan kasih yang bernyala-nyala sehingga “jiwanya meleleh”. Kita hanya bisa percaya bahwa, setelah peristiwa jiwa-meleleh ini, setiap kali Fransiskus berdoa di hadapan salib, ia mengalami kembali curahan kasih Tuhan yang sama dan luar biasa itu.

Iman yang benar, Pengharapan yang Teguh dan Kasih yang Sempurna
Sewaktu Fransiskus mengatakan “iman yang benar,” ini seakan membangkitkan penglihatan transformasi-hati dari curahan kasih Tuhan yang tak berakhir, kasih yang tidak mengharapkan pamrih sama sekali! Inilah iman yang benar yang dimohon oleh Fransiskus - juga oleh saya dan Anda - dalam doa ini. Dan tidakkah iman yang benar ini - yang merupakan pemberian dan pengungkapan diri total Allah - menerangi kegelapan hati kita?

Kita berdoa bersama Fransiskus memohon “pengharapan yang teguh” yang mengalir dari “iman yang benar.” Dan dalam manakah “iman yang benar” ini mengungkapkan dirinya kepada kita secara lebih penuh selain dalam Kebangkitan Yesus? Para rasul secara nyata menjadi saksi dari pengharapan yang benar, saat Kristus yang bangkit memperlihatkan diri-Nya kepada mereka pada Minggu Paskah pertama. Ingatlah khususnya Rasul Thomas dalam hal ini. Yesus yang bangkit begitu menerangi kegelapan hati Thomas yang penuh keraguan, sehingga sambil menyembah ia menyatakan tanpa ragu lagi: “Ya Tuhanku dan Allahku!”

Sama seperti Fransiskus melihat Yesus pada salib menyerahkan diri-Nya kepada Fransiskus dan seluruh umat manusia dalam kasih yang sempurna dan total, demikian pula Fransiskus memohon agar ia menerima “kasih yang sempurna” yang sama pula. Kasih seperti ini memampukan Fransiskus untuk menjawab totalitas kasih Allah yang sama. Selanjutnya Fransiskus juga memohon “perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu”. “Perintah” di sini sebenarnya berarti rencana mulia Tuhan yang dipelihara oleh semua anak Tuhan dalam kasih Kristus dan suatu saat nanti bangkit bersama Kristus ke dalam rangkulan kasih Tuhan.

Merefleksikan Salib San Damiano
Dokumen-dokumen awal fransiskan dari abad ke-13 mengindikasi bahwa salib yang dihadapannya Fransiskus berdoa (seperti doa di atas ini) adalah salib yang dikenal banyak orang yang tergantung di dalam kapel kecil di San Damiano, dekat kota Assisi. Salib yang dicintai ini, sangat dikenal oleh semua pengikut St. Fransiskus di seluruh dunia, dan dipanggil dengan nama Salib San Damiano. Salib ini sarana yang sangat baik untuk meditasi.

Jika memandang cermat pada tubuh Kristus yang tergambar di salib ini, akan terlihat bahwa bukan tubuh sengsara atau tubuh yang menanggung penderitaan berat yang tergambar di sana. Tetapi yang tergambar adalah tubuh yang sungguh bercahaya, seperti tubuh yang sudah bangkit, memancarkan kepenuhan Tuhan. Selain itu, alih-alih mahkota duri, kepala Kristus dikelilingi oleh lingkaran cahaya kemuliaan. Dan tubuhnya dengan tangan yang terentang nampak seperti sedang naik ke surga. Singkatnya, gambar di salib itu dengan jelas menampakkan Yesus yang bangkit mulia.

Tentu saja, jika gambaran Kristus seperti itu yang tertera di salib San Damiano yang direnungkan oleh St. Fransiskus dalam doa yang timbul dari hatinya, maka sangat masuk akal bahwa Fransiskus menyebut Yesus sebagai “Allah yang Mahatinggi dan penuh kemuliaan!” Karena semua tanda kemuliaan ada di salib itu.
O Kasih Tuhan yang Mahamulia, terangilah kegelapan hati kami!

Sumber : St. Francis’ Prayer Before the Crucifix, by Friar Jack Wintz, O.F.M., americancatholic.org
Artikel ini di ambil dari http://ofm.or.id/

Berkat untuk Saudara Leo

Berkat untuk Saudara Leo merupakan bagian belakang dari perkamen lembaran kecil untuk Saudara Leo dari Fransiskus. Pada bagian depannya tertulis doa Pujian bagi Allah yang Mahaluhur. Kedua catatan ini merupakan otografi Fransiskus sendiri. Hingga kini disimpan sebagai relikui di Sacro Convento di Asisi.

Besar perkamen ini sekitar 10 x 14 cm. Pinggiran atas dan bawah sudah rusak. Teks Pujian bagi Allah yang Mahaluhur di tengah halaman juga tidak terbaca; rupanya rusak karena tekanan jari (dan keringat) imam yang memegang relikui itu untuk diperlihatkan kepada umat. Selain itu, perkamen tersebut dilipat dua kali oleh Saudara Leo untuk bisa disimpan di saku jubah. Lipatan itu merusakkan tulisan, dengan akibat baris lipatan tidak bisa dibaca lagi. Sesuai dengan pesan Fransiskus, Saudara Leo menyimpan tulisan itu dalam saku jubahnya sampai saat matinya. Hal itu juga tidak menguntungkan, karena banyak tulisan terhapus. Di lain pihak, kalau ia tidak menyimpannya dalam saku jubah sendiri, mungkin dokumen itu tidak sampai kepada kita.

(1) Semoga Tuhan memberkati engkau
dan melindungi engkau;
semoga Ia memperlihatkan wajah-Nya
kepadamu dan mengasihani engkau.
(2) Semoga Ia mengarahkan pandangan-Nya kepadamu
dan memberi engkau damai sejahtera.
(3) Semoga Tuhan memberkati engkau,
Saudara Leo.



Artikel ini di ambil dari http://ofm.or.id/

Berbagi

( Belajar dari St. Fransiskus Assisi  )

“Mari Berbagi – Menuju Perwujudan Diri Sejati”, demikian tema Surat Gembala Prapaskah 2011 dari Uskup KAJ, Mgr. Ignasius Suharyo. Sejauh yang saya pahami ada dua alasan dibalik perumusan tema tersebut. Pertama, Gereja menyadari tugasnya dalam konteks Indonesia, yakni “ikut merasakan kegembiraan dan harapan serta keprihatinan dan kecemasan” masyarakat (no.2). Artinya, tema itu lahir dari kepedulian akan situasi sosial-ekonomi Indonesia.

Kedua, senada dengan cita-cita yang digariskan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ, Gereja hendak memberi tempat pada upaya membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih (no.2). Tema ”Mari Berbagi”, tampaknya bisa mengakomodasi dua alasan tersebut.

Mencermati kondisi sosial ekonomi masyarakat atau bangsa kita, ajakan untuk berbagi terasa relevan. Namun ajakan itu juga merupakan sebuah tantangan yang menghadapkan kita pada pertanyaan ”Bersedia kita berbagi?
Berbagi selalu mengandaikan kerelaan untuk memberi kepada yang lain apa yang menjadi bagian kita. Berbagi selalu mengandaikan kesediaan untuk melepaskan kelekatan dengan apa yang kita miliki. Berbagi selalu mengandaikan kesadaran bahwa aku mesti bisa berbuat sesuatu bagi yang lain.

Belajar dari St. Fransiskus Asisi
Saat menyelami makna ajakan untuk berbagi”, saya teringat dengan salah satu peristiwa penting dalam hidup St. Fransiskus Asisi, yakni pertengkaran dengan ayahnya – seorang pedagang kaya di Asisi, Italia - Pietro Benardone. Pada masa hidup Fransiskus, tatanan sosial ekonomi Asisi dipengaruhi sistem feodalisme yang mengakibatkan adanya jurang antara kaum kaya dan miskin.

Suatu ketika ia disuruh menjual kain – barang dagangan ayahnya. Tapi, tiba-tiba Fransiskus memutuskan tidak menjual kain-kain itu. Barang dagangan ayahnya itu dibagikannya secara gratis kepada orang-orang miskin. Tindakannya tentu saja terasa sangat aneh di mata ayahnya. Keinginan sang ayah untuk mendapat untung pupus karena tindakan anaknya sendiri. Anaknya yang semula dikenal matre, tiba-tiba berubah. Ayahnya marah dan mengusir Fransiskus.

Namun saat itu, Fransiskus melihat bahwa sikapnya tepat. Bahkan ia bangga dengan tindakannya. Dalam dirinya mMuncul sikap bela rasa dan kepedulian ketika berjumpa dengan orang miskin dan penderita kusta di jalan-jalan di Asisi. Pengalaman perubahan tersebut digambarkannya dengan ungkapan: ”apa yang dahulu terasa memuakkan bagiku sekarang berubah menjadi manis”. Ia mengakui, sekarang ia malahan merindukan kesempatan untuk menjumpai orang miskin dan menderita.

Fransiskus berubah secara radikal. Dari seorang yang egois menjadi murah hati, solider dan berbela rasa dengan sesama. Dalam konteks ajakan untuk berbagi, bagi saya, pengalaman St. Fransiskus memperlihatkan beberapa poin penting yang bisa dipetik.

Pertama, dimensi eksperiensial mendapat tempat dalam peristiwa peralihan cara pandang dan perilakunya. Perjumpaan dengan realitas membawa ia pada kesadaran untuk berubah. Saat bertatapan dengan orang-orang kecil, mata dan hatinya terbuka untuk melihat apa yang terjadi di luar lingkungan keluarganya. Bahwa ternyata masih ada orang yang hidupnya susah, tidak seperti keluarganya yang kaya.

Kedua, tindakan St Fransiskus menjadi gugatan terhadap kesenjangan sosial di lingkungan kehidupannya. Lewat tindakan berbagi yang digugat adalah ketidakpedulian keluarganya terhadap kondisi sesama. Dengan berbagi Fransiskus seakan memberi pesan bagi ayahnya untuk menerobos benteng ketertutupan dan membuka mata terhadap realitas sosial di sekitar.

Ketiga, lebih jauh, St Fransiskus menyadari panggilannya untuk menjadi sesama bagi yang kecil dan menderita. Menjadi sesama bagi yang lain, selalu mengandaikan adanya pengakuan bahwa yang lain juga memiliki hak untuk menikmati kehidupan yang layak, seperti yang dialaminya. Dalam konteks inilah ajakan untuk berbagi kita tempatkan sebagai aktualisasi kesadaran untuk menjadi saudara bagi semua.

Keempat, lewat ajakan untuk berbagi, kita juga diingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan kita. Mengapa? Karena fakta adanya kesenjangan adalah konsekuensi lanjutan dari persoalan yang lebih mendasar, yakni ketidakadilan. Dalam masyarakat ada sebagian kecil orang yang memonopoli akses terhadap sumber-sumber kehidupan, sedangkan mayoritas masyarakat mengalami kesulitan. Terdapat ketimpangan. Kondisi inilah yang memungkinkan tetap melebarnya kesenjangan.

Aktualisasi Diri
Bagi kita, ajakan berbagi adalah peringatan sekaligus imperasi untuk membuka diri dan berpatisipasi dalam membangun kehidupan yang lebih manusiwai dimana semangat solidaritas dipupuk. Surat Gembala Prapaskah 2011 ini mestinya mengetuk nurani kita untuk menatap dunia sekitar sambil secara kreatif mencari cara untuk mengaktualisasikan ajakan berbagi. Lewat berbagi, kita menjadi berkat dan bertumbuh menjadi pribadi yang sejati. Dengan berbagi kita menyadari kewajiban untuk menjadi saudara bagi yang lain. Itulah salah satu jalan menuju perwujudan diri yang sejati.

Oleh Ryan Dagur OFM
(tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidup Edisi 12/2011)

Artikel ini di ambil dari http://ofm.or.id/

Contoh Teladan, Cintakasih dan Integritas Diri

( Belajar dari Sikap dan Tindakan Fransiskus )

Teks Renungan dari karya Thomas dari Celano, Fransiskus dari Assisi: Riwayat Hidup II, Bab XV, 22:

Pada suatu malam, ketika lain-lainnya beristirahat, berteriaklah salah seorang pengikutnya: “Mati aku, saudara-saudara, sunguh-sungguh, mati aku karena kelaparan!” Segera gembala yang utama itu bangun dan bergegas-gegas menolong domba yang sakit dari antara kawanannya dengan penawar yang semestinya. Ia menyuruh siapkan meja penuh dengan makanan yang enak-enak, walaupun sederhana, sedang air menggantikan anggur yang tidak ada, seperti sering kali terjadi. Ia sendiri pertama-tama mulai makan dan agar saudara itu jangan merana karena malu, maka diajaknya pula saudara-saudara lainnya untuk ikut serta dalam pelayanan cintakasih itu.

Setelah menyantap makanan itu dengan takwa kepada Tuhan, maka untuk tidak menyalahi kewajiban cintakasih itu, bapak tersuci lalu menceriterakan perumpamaan yang panjang lebar kepada putera-puteranya tentang keutamaan keseimbangan hati. Ia menyuruh mereka, agar mereka menyampaikan kepada Allah kurban yang dibubuhi garam dan menasehati mereka dengan tegas, agar masing-masing menimbang kekuatannya sendiri dalam pengabdian kepada Allah.

Ditambahkannya, bahwa adalah sama salahnya mengurangi tanpa tahu batas apa yang perlu bagi tubuh, seperti memberi tubuh berlebih-lebihan karena kerakusan. “Bilamana aku telah makan, saudara-saudara terkasih,” sambungnya, “maka ketahuilah, bahwa itu terjadi karena pertimbangan seksama dan bukan karena nafsu yang tak terkekang, sebab cintakasih persaudaraan menuntut itu. Biarlah cintakasih itu menjadi contoh bagi kalian, karena makanan itu melayani kerakusan, sedangkan cintakasih itu melayani roh.”

Renungan:

Ketika St. Fransiskus masih hidup di dunia ini, telah banyak orang yang mau mencontoh hidupnya, baik semangat hidup maupun cara lahiriahnya. Semangat hidup Fransiskus memancar dan mempengaruhi begitubanyak orang, bahkan ketika dia masih hidup saja, ada ribuan orang telah tertarik dan mengikuti semangat dan cara hidupnya. Mengikuti cara hidup dan semangatnya merupakan suatu yang sangat positif, karena tujuan hidupnya tetaplah mau mengikuti Kristus Yesus. Lainhalnya dengan orang yang hanya mau mengikuti segi lahiriahnya saja.

Kisah yang diceritakan oleh Thomas dari Celano sangat menarik. Salah seorang saudara yang begitu terpukau melihat Fransiskus, langsung jatuh hati untuk mengikutinya secara lahiriah. Dan yang mau ditiru itu tak lain daripada matiraga dan puasanya. Fransiskus, yang telah terlatih dan terbiasa makan hanya sedikit saja, dan banyak ulahtapa, mau ditiru oleh salah seorang saudara. Rupanya dia berfikir, kalau mampu mengikuti dan meniru Fransiskus, akan sempurnalah hidupnya. Pemikiran ini benar dia laksanakan. Dia berulah tapa dan puasa dengan kerasnya, seperti Fransisikus.

Apa yang terjadi? Di tengah malam, ketika para saudaranya sedang enak-enaknya tidur, dia tidak tahan lapar. Dia kelaparan benar-benar dan berteriak-teriak: “Mati aku, saudara-saudara, sunguh-sungguh, mati aku karena kelaparan!” Fransiskus memahami dengan baik para saudaranya. Maka, kata Thomas dari Celano: “Segera gembala yang utama itu bangun dan bergegas-gegas menolong domba yang sakit dari antara kawanannya dengan penawar yang semestinya. Ia menyuruh siapkan meja penuh dengan makanan yang enak-enak, walaupun sederhana, sedang air menggantikan anggur yang tidak ada, seperti sering kali terjadi. Ia sendiri pertama-tama mulai makan dan agar saudara itu jangan merana karena malu, maka diajaknya pula saudara-saudara lainnya untuk ikut serta dalam pelayanan cintakasih itu”. Sekalipun suasananya malam, namun Fransiskus mendidik para saudaranya dengan cermat. Dia memberi contoh teladan. Setelah meja makan disiapkan dan dipenuhi dengan makanan, dia memulai menikmati hidangan yang ada. Juga para saudaranya diajak makan. Hal ini terjadi untuk mendidik saudara yang mau mati kelaparan itu.

Tanpa ragu apapun, saudara yang lapar itu ikut menikmati makanan yang ada. Dan persis dalam situasi yang demikian itu, St. Fransskus menunjukkan jalan, agar tidak sembrono dalam menaggapi hidup ini. Artinya tetap memperhatikan kekuatan tubuh, bila mau matiraga dan bertapa. Fransiskus tidak mau mempermalukan saudara yang kelaparan akibat ulahtaapa yang keras itu, tetapi secara manusiawi dia memberikan suatu penghiburan, teguran yang mengarahkan ke pertobatan dan contoh teladan yang membuka hati sesamanya akan kasih Tuhan.

Thomas dari Celano menulis, apa yang dilaksanakan oleh Fransiskus setelah bersantap memulihkan kekuatan orang yang hampir mati kelaparan itu. Dalam hidup ini sangatlah perlu adanya keutamaan keseimbangan hati. Orang dapat menempatkan diri pada tempatnya yang tepat. Orang menyadari dirinya sendiri di hadapan Tuhan. Orang dapat memahami sesamanya. Dan orang harus mengenal dirinya sendiri. Thomas dari Celano menceritakan: “Setelah menyantap makanan itu dengan takwa kepada Tuhan, maka untuk tidak menyalahi kewajiban cintakasih itu, bapak tersuci lalu menceriterakan perumpamaan yang panjang lebar kepada putera-puteranya tentang keutamaan keseimbangan hati.

Ia menyuruh mereka, agar mereka menyampaikan kepada Allah kurban yang dibubuhi garam dan menasehati mereka dengan tegas, agar masing-masing menimbang kekuatannya sendiri dalam pengabdian kepada Allah”. Diharapkan kalau orang mempunyai keseimbangan dalam keutamaan, orang akan mengenal kekuatannya sendiri dalam pengabdiannya kepada Allah dan pelayanannya terhadap sesama manusia. Diharapkan orang akan mengenal dirinya sendiri dengan baik. Dan konsekwensinya tidak akan menyusahkan orang lain dalam hidupnya sehari-hari.

Oleh karena itu kata Thomas dari Celano dalam riwayat hidup St. Fransiskus itu: “sama salahnya mengurangi tanpa tahu batas apa yang perlu bagi tubuh, seperti memberi tubuh berlebih-lebihan karena kerakusan. “Bilamana aku telah makan, saudara-saudara terkasih,” sambungnya, “maka ketahuilah, bahwa itu terjadi karena pertimbangan seksama dan bukan karena nafsu yang tak terkekang, sebab cintakasih persaudaraan menuntut itu. Biarlah cintakasih itu menjadi contoh bagi kalian, karena makanan itu melayani kerakusan, sedangkan cintakasih itu melayani roh”.

Pesan St. Fransiskus ini kiranya harus memberikan semangat kita dalam mengabdi kepada Tuhan. Cintakasih kita haruslah menjadi contoh teladan bagi sesama. Dalam rangka itu, makan minum ataupun ulah tapa dan matiraga haruslah dipandang sebagai suatu sarana untuk semakin dekat dengan Tuhan, dan bukannya menyiksa tubuh, sehingga akan bersengsara dan tidak mampu memuji Tuhan. Sarana untuk semakin mengabdi kepada Tuhan memang penting, akan tetapi haruslah ada keseimbangan keutamaan dalam hidup ini, agar semuanya dapat berjalan dengan sebaik mungkin, tanpa merepotkan sesama kita.

oleh: Martino Sardi, OFM
http://ofm.or.id/belajar-dari-sikap-dan-tindakan-fransiskus-contoh-teladan-cintakasih-dan-integritas-diri/