Rabu, 30 Mei 2012

Tempayan Retak


Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawanya menyilang pada bahunya. Satu tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya tidak retak.

Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna.

Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidak-sempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, “Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu”. “Kenapa?” tanya si tukang air. “Kenapa kamu merasa malu?”

“Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya yang telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita.

Karena cacatku ini saya telah membuatmu rugi,” kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, “Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dengan seksama, dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air itu yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.

Si tukang air berkata kepada tempayan itu, “Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tetapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain tidak retak itu? Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya.

Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu.

Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tidak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”

Setiap dari kita, memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Tuhan Yesus akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias meja Bapa–Nya.

Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.

Senin, 28 Mei 2012

Tangguh Seperti Rajawali


Rajawali menjadi burung yang paling populer sepanjang peradaban manusia. Ujudnya dijadikan simbol oleh banyak bangsa sejak dulu. Menjadi lambang militer saat kekaisaran Roma dan Persia, digunakan juga oleh Napoleon, hingga saat Ottoman Turks berkuasa di Turki.

Sementara di Indonesia, Rajawali sudah dipakai oleh Kerajaan Sintang sekitar abad 13 M. Dan, jaman sekarang, lebih dari 40 negara menggunakan Rajawali sebagai lambang nasional

Maka pertanyaannya, mengapa Rajawali? Salah satu jawabnya karena Rajawali adalah burung yang tangguh.  Rajawali terbang sangat tinggi di langit biru dan...sendirian dalam mencari makan. Bisa melihat sampai 5 kilometer jauhnya, serta kecepatan terbangnya maksimal 160 km/jam.

Meski
Rajawali mewarisi kemampuan tersebut secara genetik, bukan berarti mereka tidak berlatih dan berjuang saat masih kecil.
Rajawali muda mulai berlatih terbang saat mencapai usia 2 atau 3 bulan. Beberapa bahkan lebih cepat, terutama bagi Rajawali kecil yang tidak suka berbagi sarang dengan saudaranya.

Awal belajar terbang pasti mengalami jatuh-bangun. Tak ada satu burung
Rajawali pun yang langsung sukses terbang saat pertama kali mencoba.

Pada beberapa kasus, ada
Rajawali muda yang takut keluar sarang dan belajar terbang. Maka orang tuanya akan terbang sekeliling sarang sambil memancing anaknya dengan makanan favorit. Jadi tak benar pendapat yang mengatakan orang tua Rajawali sengaja menendang anaknya agar berani terbang.

Bagaimanapun, seekor Rajawali muda harus punya keberanian untuk keluar dari sarangnya yang nyaman. Karena pada usia sekitar 6 bulan Rajawali muda harus bisa terbang sendiri tanpa pengawasan orang tuanya.

Mereka juga belajar mencari umpan dengan melihat serta mengikuti orang tuanya saat berburu. Mereka belajar terbang tinggi, mengintai, lalu terjun secepatnya menyikat buruan.

Seperti
Rajawali, untuk menjadi tangguh perlu tekad dan keberanian. Terkadang, kita harus keluar dari 'comfort zone' (zona nyaman) seperti halnya Rajawali muda keluar dari sarang mereka.

Hanya dengan keberanian melakukannya, kita bisa mengetahui dunia yang luas, dan bisa terbang tinggi mengejar apa yang kita mau.